Kemerdekaan Merek Belum Ada di Indonesia


Hampir tiap minggu saya ke bandara Soekarno-Hatta. Dan setiap kali perjalanan dari dan ke bandara, saya punya kebiasaan unik menghitung billboard di kanan-kiri jalan tol. Saya hitung berapa billboard yang berisi iklan merek lokal dan asing. Mau tahu berapa hitungan perbandingannya? Sedih banget, kira-kira 7 banding 1. Jadi, setiap 7 iklan merek asing baru bisa saya temui 1 iklan merek lokal.
Karena pekerjaan sebagai konsultan, keseharian saya diisi dengan aktivitas mengukur jalan. Setiap hari, dari pagi hingga malam, rata-rata saya meeting 3 kali dengan durasi kira 2 jam (sekitar 6 jam), sisanya ada di jalam di tengah belantara kemacetan Jakarta. Nah, setiap saya melintas jalan Sudirman-Thamrin saya tercenung sekaligus sedih. Pasalnya, kian hari gedung-gedung mentereng di jalan paling utama Jakarta itu kian dihuni perusahaan-perusahaan asing. Barangkali perusahaan lokal kian menyingkir ke pinggiran Jakarta karena tak kuat membayar sewa.

Di rumah, saya berlangganan koran-koran nasional top. Dari waktu ke waktu saya amati, kian langka merek lokal yang mengiklan satu halaman full colour di koran-koran tersebut. Yang mampu pasang iklan-iklan segedhe gajah itu kini hanya merek-merek global yang duitnya memang tak ada serinya. Sementara merek-merek lokal saya tidak tahu iklannya pada raib ke mana.

Lebih mengerikan lagi, saya sering mengamati merek-merek yang ada di dapur. Saya coba hitung berapa banyak yang merek lokal dan berapa yang asing. Menyedihkan, rupanya dapur kita sudah dijajah oleh kekuatan merek asing. Coba saja lihat, mulai dari kecap, sambal, bumbu masak, mentega, keju, susu, hingga air minum dalam kemasan, semuanya dikuasai oleh merek asing.
Hal ini berlanjut ke kamar mandi. Di sini dominasi merek asing lebih memprihatinkan lagi. Mulai dari sabun mandi, pasta gigi, cairan kumur, shampo, sabun cuci, hingga alat cukur seluruhnya didominasi merek asing.

Dalam skala lebih makro kita melihat deretan fakta yang menyedihkan menyangkut dominasi merek asing ini. Di industri-industri yang strategis bagi bangsa ini seperti telekomunikasi, perbankan, otomotif, farmasi, toiletris, kosmetik, ritel, elektronik rumah tangga, gadget, makanan/minuman, pertambangan, alat berat, periklanan, riset pasar, bahkan dotcom, dominasi pemain global asing sudah sampai ke tulang sumsum.

Belum Merdeka
Itulah sebabnya saya mengatakan, dalam hal merek negeri ini masih belum merdeka. Kita memiliki kemerdekaan merek hanya jika merek lokal kita berjaya di negerinya sendiri, menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Kondisi ini terwujud ketika sebagian besar rakyat Indonesia menggunakan merek-merek bangsa sendiri dan merek-merek bangsa sendiri itu sekaligus juga dimiliki bangsa sendiri.

Tak hanya memakai merek-merek bangsa sendiri, mereka juga bangga menggunakan merek-merek tersebut. Layaknya rakyat Jepang bangga menggunakan Sony atau Toyota di masa-masa awal kejayaan merek-merek tersebut. Layaknya rakyat Korea Selatan bangga menggunakan Hyundai atau Samsung. Atau layaknya rakyat China yang bangga menggunakan Baidu ketimbang Google.

Kalau kemerdekaan 1945 kita rebut melalui perjuangan bersenjata melawan penjajah, maka kemerdekaan merek diperoleh melalui perjuangan para entrepreneur dan brand builder kita yang bahu-membahu menciptakan merek lokal hebat yang tangguh bersaing dengan merek asing. Mereka harus menghasilkan merek-merek hebat seperti Sosro, Martha Tilaar, Sido Muncul, Garuda Indonesia, Garuda Food, Mayora, DCost, dan sebagainya.

Karena itu saya menyebut entrepreneur dan brand builder sebagai aset paling berharga bagi negeri ini. Melalui merekalah negeri ini bakal makmur, gemah ripah loh jinawi. Saya setuju dengan semboyan Jim Collins: who, then what. Ciptakan orang-orang hebat terlebih dahulu, maka kehebatan-kehebatan berikutnya akan Anda raih. Karena itu sesungguhnya tugas dari pemimpin baru nanti adalah menciptakan basis entrepreneur dan brand builder yang kokoh dan jumlahnya massal.

Nasionalisme Baru
Untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajah kita harus memiliki nasionalisme. Untuk mendapatkan kemerdekaan merek Indonesia kita juga harus memiliki nasionalisme. Ada dua jenis nasionalisme yang harus kita miliki untuk membawa merek Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Pertama adalah nasionalisme produsen. Kedua adalah nasionalisme konsumen.

Nasionalisme produsen adalah perjuangan para produsen merek Indonesia untuk membangun daya saing merek Indonesia sehingga mampu bersaing dengan merek-merek global di pasar dalam negeri bahkan di pasar global. Ini adalah kerja besar, karena merek-merek global memiliki sumber daya yang luar biasa besar. Pengalaman mereka puluhan bahkan ratusan tahun, modal finansial nyaris tak terbatas, teknologi tercanggih di dunia, dan manajemen yang mumpuni.

Sementara Nasionalisme konsumen adalah kerelaan dan kecintaan untuk menggunakan merek-merek Indonesia. Harus diingat, negara seperti Korea Selatan mampu menjadi kekuatan ekonomi baru dunia dengan menciptakan merek-merek nasional hebat (seperti Hyundai, Samsung, atau KIA) salah satunya adalah karena faktor nasionalisme konsumen ini.

Pada awal perkembangannya, rakyat Korea “memberi kesempatan” kepada merek-merek nasional seperti Samsung atau Hyundai untuk mengembangkan diri agar sejajar dengan merek Jepang atau Amerika, dengan cara membeli dan menggunakan merek-merek tersebut. Karena dibeli rakyatnya, merek-merek nasional Korea tersebut memiliki kesempatan memperbaiki kualitas dalam mengejar global best practice. Kini merek-merek tersebut telah “dilepas” dan telah memiliki daya saing kokoh melawan pesaing-pesaing global.

Rasa nasionalisme tak cukup hanya dengan menjalankan ritual upacara bendera tiap tanggal 17 Agustus. Rasa nasionalisme juga menuntut kita melakukan kerja besar untuk menciptakan merek-merek lokal yang memiliki daya saing global. Hari ini 17 Austus 2014 adalah saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan kemerdekaan merek Indonesia. Dan besok pagi dan hari-hari berikutnya adalah waktu yang tepat untuk melakukan action!!!