Membangun brand kini tak cukup hanya pakai iklan dan promosi. Bahkan membangun brand dengan iklan kini sudah dianggap jadul, boring, dan tidak keren. Yang sedang cool sekarang adalah membangun brand sebagai sebuah movement, kata penulis buku hebat Brand Gardener. Movement bisa menjadi cool factor bagi sebuah brand, ujarnya. Movement bisa menjadi unsur pembeda (differentiating factor) bagi sebuah brand dibanding pesaingnya.
Apa itu brand as a movement?
Sebelum sampai ke situ, saya ingin melihat tantangan-tantangan bisnis terkait dengan persoalan-persoalan sosial di masyarakat. Persoalan sosial kemasyarakan saat ini kian memprihatinkan mulai dari persoalan kemiskinan, kesehatan, infrastruktur, kemacetan, korupsi, hingga degradasi lingkungan.
Celakanya, biang di balik persoalan-persoalan itu rupanya adalah kalangan bisnis sendiri.
Bisnis dianggap sebagai biang dari kian kurusnya bumi dan turunnya kualitas lingkungan. Bisnis juga musabab dari segepok problem sosial dari kesehatan, pendidikan, hingga korupsi. Bahkan bisnis juga kontributor persoalan-persoalan ekonomi dari kemiskinan hingga ketidakberdayaan masyarakat tertinggal.
Dengan background seperti itu, maka dunia bisnis tak bisa cuci tangan menganggap semua persoalan itu adalah tanggung jawab pemerintah. Kalangan bisnis harus peduli dan turun tangan untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan itu. Nah, upaya membangun brand dengan cara mengusung gerakan untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan inilah yang saya sebut branding as a movement.
Mengayomi Wong Cilik
Beberapa bulan lalu saya berkunjung ke PT KML yang didirikan teman saya pak Nadjikh. Sosok satu ini hebat karena dalam mengembangakan usaha, ia mengusung semangat branding as movement. Ia puluhan pabrik pengolahan ikan di berbagai pantai perairan Nusantara dengan satu tujuan mulia untuk mengangkat harkat-martabat nelayan kita. Berbeda dengan kebanyakan pengusaha besar konglomerat yang serakah menguasai bisnis dari hulu hingga hilir, pak
Nadjikh fokus hanya mengembangkan industri pengolahan ikan dimana bahan bakunya ia beli dari para nelayan.
Sengaja ia tak melebarkan bisnisnya di usaha penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar nan modern, karena ia sadar itu menjadi jatahnya para nelayan. Misinya satu, untuk memutus rantai kemiskinan nalayan. Harap diketahui, dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai nelayan kini semakin tidak menguntungkan karena ulah tengkulak.
Akibatnya, banyak nelayan kita pada lari ke kota untuk menjadi tukang batu.
Alih-alih menjadi predator yang memberangus sumber nafkah nelayan, KML justru mengayomi mereka dengan memberikan kepastian harga dan bisnis yang saling menguntungkan. Saat ini bisnis KML didukung oleh 600 UKM (pengepul) dan 125 ribu nelayan di sepanjang perairan Nusantara mulai dari Gresik, Madura, Makassar, Kendari, hingga Ambon. KML menjadi semacam bapak angkat bagi nelayan.
Apa yang dilakukan KML tak lain adalah sebuah gerakan untuk memberdayakan nelayan hingga mencapai kehidupan yang lebih baik.
Solusi Penuh Kearifan
Dalam spirit yang sama Singgih Kartono dengan Radio Magno melakukan brand building dengan cara menggelar sebuah gerakan pemberdayaan desa. Radio Magno sepintas memang hanya seonggok kayu dengan sedikit komponen elektronik di dalamnya. Namun di balik itu terdapat sebuah idealisme luar biasa mengenai bagaimana sebuah desa seharusnya merespons kapitalisme dan globalisasi yang destruktif dengan pendekatan yang lebih arif dan manusiawi.
Melalui Radio Magno, Singgih ingin menjadikan Kandangan, desa tempat lahirnya, sebagai model solusi alternatif bagi persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Kehidupan desa Kandangan mengalami kemunduran sistematis baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan sebagai akibat pendekatan pembangunan yang parsial dan instan.
Kegagalan sektor pertanian misalnya, menjadikan warga desa jatuh miskin dan kemudian lari ke kota menjadi buruh pabrik atau kuli bangunan. Mereka yang tetap tinggal miskin di desa melakukan apapun untuk bisa survive hidup termasuk merambah hutan yang berpotensi merusak lingkungan.
Bisnis Singgih dibesut dengan spirit untuk memecahkan persoalan yang tipikal dihadapi seluruh desa di negeri ini. Untuk membendung laju urbanisasi, Radio Magno mengambil pekerja tidak terampil dari desa yang pelan-pelan dibangun kemampuannya hingga berkelas dunia.
Ya, karena pasar utama Radio Magno adalah Jepang, Amerika, dan Eropa. Ia juga menanam hutan (replant) di daerah pinggiran desa seluas sekitar 10 hektar. Untuk radio kayunya, ia hanya memenfaatkan 0,5 hektar saja dengan prinsip cut less, plant more.
Dua pemimpin bisnis hebat di atas memiliki niat ingsun yang sama, yaitu mengusung misi mulia memecahkan persoalan-persoalan sosial yang hadir di masyarakat.
Dengan memecahkan persoalan-persoalan aktual masyarakat, by default mereka menciptakan emotional connection dengan konsumen, partner bisnis, pemasok, dan segenap anggota stakeolders. Dengan memecahkan persoalan-persoalan sosial sesungguhnya mereka membangun reputasi, kepercayaan (trust), bahkan loyalitas dengan segenap stakeholders tersebut.
Dengan kata lain, dengan berkontribusi kepada masyarakat, sesungguhnya sedang melakukan brand building. Sebuah brand building yang tak hanya pencitraan, semu, dan selfish, tapi brand building yang solutif, rahmatan lil alamin, dan mulia.